Sengketa lahan Megamendung, Rizieq Shihab bisa digugat perdata

Sengketa lahan Megamendung, Rizieq Shihab bisa digugat perdata Kompleks Ponpes Alam Agrokultural Markaz Syariah milik FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jabar, Maret 2018. Google Maps/Sidiq Suci

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII disebut bisa menggugat perdata pendiri Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, terkait dugaan penggunaan lahan tanpa izin di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar). Perusahaan "pelat merah" itu bisa menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata.

"Sangat bisa (digugat secara perdata) selama memang ada kerugian yang diterima pihak tertentu, dalam hal ini PTPN," ujar Pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, Sabtu (20/2).

Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan, setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Hingga kini, PTPN VIII hanya melaporkan Rizieq ke Bareskrim Polri. Ia dianggap melanggar Pasal 107 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Tindak Pidana Kejahatan Perkebunan, Pasal 69 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Kejahatan Penataan Ruang, Pasal 167 KUHP tentang Memasuki Pekarangan Tanpa Izin, Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Tanah, dan Pasal 480 KUHP tentang Penadahan.   

Menurut Redi, gugatan perdata takkan mengganggu proses hukum pidana. "Keduanya bisa jalan bersamaan."

Polri masih menangani kasus pidana ini. Di sisi lain, PTPN VIII berencana mengambil alih lahan tersebut, yang menjadi lokasi Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Markaz Syariah.

Sekretaris Perusahaan PTPN VIII, Naning Diah Trisnowati, mengatakan, pihaknya berupaya menyelamatkan aset-asetnya, termasuk tanah berstatus hak guna usaha (HGU) itu. Tujuannya, mengoptimalkan lahan produktif untuk dikelola agar berkontribusi terhadap kas negara.

Sementara itu, pakar pertanahan dari Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menilai, FPI tak berhak mendapat ganti rugi jika lahan yang ditempati Ponpes Agrokultural diambil PT PTPN VIII. Alasannya, melakukan banyak pelanggaran di atas kavling sekitar 31,91 ha tersebut, khususnya UU Perkebunan.

“Mereka langgar dan ada denda yang kurang lebih Rp4 miliar kalau melakukan penyerobotan tanah perkebunan yang telah memiliki HGU," jelasnya, beberapa waktu lalu.

Dia berpendapat, akad jual beli tanah yang dilakukan tidak dapat dibenarkan menurut hukum Indonesia. Pertimbangannya, akad harus dilakukan PTPN VIII selaku pemegang hak atas tanah.

"Akadnya hanya pengalihan penggarapan juga tidak bisa diterima sebab fakta di lapangan menunjukkan, FPI tidak hanya menanami lahan dengan aneka tumbuhan. Namun, juga membuat aneka bangunan," tuturnya.

Iwan melanjutkan, HGU yang dimiliki PTPN VIII diperuntukkan bagi usaha perkebunan, pertanian, peternakan, dan tambak perikanan. Sedangkan untuk bangunan, sertifikat mesti dalam bentuk hak guna bangunan (HGB). "Harusnya untuk perkebunan bukan untuk pendidikan dan bangunan."