Program Sekolah Penggerak dan PPDB Zonasi Dinilai Tidak Selaras

Program Sekolah Penggerak dan PPDB Zonasi Dinilai Tidak Selaras Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Dokumentasi: Kemendikbud

Jakarta, Pos Jateng - Program Sekolah Penggerak milik Mendikbud, Nadim Makarim dianggap tidak selaras dengan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, PPDB jalur zonasi bertujuan pemerataan mutu sekolah, sedangkan Program Sekolah Penggerak dimaksudkan untuk mengintervensi kualitas belajar siswa. Keadaan tersebut malah menimbulkan kesenjangan antarunit pendidikan.

"Kalau menggunakan sistem PPDB zonasi, semestinya semua sekolah sama. Yang penting dekat dari rumah, sama saja kualitasnya. Kalau ini ada label sekolah penggerak dan ada sekolah tidak bergerak, nanti akan muncul-muncul sekolah lagi semacam yang dulu ada sekolah unggulan,” ucap Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dilansir dari Alinea.id, Rabu (21/7).

Ia pun mengkritik penyusunan kurikulum sekolah penggerak yang tidak melibatkan partisipasi publik. Semestinya publik dirangkul, lantaran kebijakan tersebut melanjutkan perubahan dari kurikulum 2006 hingga kurikulum 2013 revisi.

“Sekarang ada sekolah penggerak, yang dulu ada sekolah RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional). Jadi, bikin label-label baru, bikin kesenjangan dan menghambat pemerataan mutu (sekolah). Semua publik terlibat dalam perbincangan itu mulai dari penyusunan. Nah, ini yang kurikulum penggerak tiba-tiba sekolah dipanggil, dilatih, disuruh praktikin," jelasnya.

Sebagai informasi, Kurikulum Sekolah Penggerak merupakan program yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, pada awal 2021. Program dimulai pada tahun ajaran (TA) 2021/2022 di 2.500 sekolah di 111 kabupaten/kota pada 34 provinsi.

Sebelumnya, JPPI menganggap Kemendikbud Ristek tertutup dan antikritik dengan membiarkan Rektor UI, Ari Kuncoro, merangkap jabatan sebagai Wakil Komisari Bank Rakyat Indonesia (BRi). JPPI menilai hal tersebut berpotensi membungkam suara kritis mahasiswa dan mengancam kebebasan akademik.

Program Kampus Merdeka yang digaungkan Nadiem, sambung Ubaid, pun semakin terlihat sebagai slogan belaka. Alasannya, rangkap jabatan Ari Kuncoro sama sekali tidak mencerminkan filosofi Kampus Merdeka yang merujuk gerakan pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

Ia menduga Program Kampus Merdeka bukan murni cerminan pemikiran Nadiem, lantaran cenderung bungkam dengan suara kritis mahasiswa dan membuat kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik.

"Kemerdekaan yang diambilkan dari filosofi Ki Hadjar Dewantara itu jauh sekali dengan realitas yang kita lihat di lapangan," pungkasnya.