Kisah Slamet, Tertolak Gegara Beda Agama

Kisah Slamet, Tertolak Gegara Beda Agama Warga lintas iman mengikuti Deklarasi Jogja Damai Tolak Intoleransi di Kantor Kepatihan, DIY, 14 Februari 2018. (Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah)

Bantul - Slamet Jumiarto (42) terpaksa mencari rumah kontrakan anyar. Dia dilarang tinggal di RT 8 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gegara perbedaan agama.

"Pindah ke sini (Dusun Karet), karena lebih luas dan harganya lebih murah," ujarnya, Selasa (2/4). Menempati kontrakan tersebut sejak 30 Maret 2019.

Rumah tersebut didapatinya setelah membaca iklan di media sosial (medsos). Pengiklan memasang harga Rp4 juta per tahun. Slamet dan keluarganya tinggal di Kota Yogyakarta sebelumnya.

Sebelum akad, dirinya telah menginformasikan kepada pengiklan: takberagama Islam. "Dan katanya, 'Tidak apa-apa nonmuslim'," ucapnya.

Sehari telah tinggal, pria asal Semarang, Jawa Tengah (Jateng) ini, kemudian sowan kepada ketua RT setempat. Menyampaikan info. Juga memberikan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan surat nikah.

"Begitu dilihat (dokumen kependudukan) dan tahu kami nonmuslim, maka kami ditolak," ungkap dia. Sehari berselang, Slamet menemui ketua kampung. Harapannya tetap bertepuk sebelah tangan.

Katanya, pengalaman pahit tersebut baru pertama dirasakannya. Berbeda dengan sebelumnya. Kala tinggal di "Kota Pelajar".

Pelukis ini kemudian melapor ke Sekretaris Daerah (Sekda) DIY. Selanjutnya diarahkan ke sekda Bantul. Berikutnya dibawa ke Kelurahan Pleret.

Slamet bertemu lurah dan kepala dukuh di sana. Ketua kampung selanjutnya dipanggil guna musyawarah. Lagi-lagi tak membuahkan hasil.

Dirinya takpatah arang. Tetap mendorong mediasi. Pertemuan lanjutan berlangsung di Pendopo Dusun Karet, Senin malam. Kegiatan difasilitasi kepala desa.

Dalam pertemuan, beberapa warga memperkenankannya tinggal di Dusun Karet. Khususnya para sesepuh. Namun, keinginannya kembali terbentur regulasi setempat.

"Ada aturan tertulis. Ketua RT memberi saran, agar saya tinggal di sini enam bulan saja. Yang enam bulan lagi, dikembalikan dalam bentuk uang," terang Slamet.

Bapak dua anak ini menganggap, usul ketua RT merupakan penolakan secara halus. Dirinya hanya menginginkan sikap tegas.

"Jadi, hasil mediasi tadi malam, bisa dikatakan saya mengalah. Kok, mengalah? Ya, saya pikir, saya kalah suara dan enggak ada pengacara," urai dia.

Slamet kini mencari rumah kontrakan anyar. Langkah tersebut sesuai permintaan istri dan anak-anaknya. "Mungkin mereka sudah tidak kuat secara psikologis," terkanya.

Sementara, Kepala Dusun Karet, Iswanto, membenarkan, ada regulasi soal pendatang baru. Aturan disepakati warga dan berlaku per 2015. "Juga memuat masalah jual-beli tanah sampai kompensasi," tambahnya.

Kata dia, Slamet mengontrok rumah di Dusun Karet via perantara yang buta aturan. Pemilik hunian pun tak tinggal di sana. "Rumah sudah tidak ditempati sekitar setahunan," ucapnya.

Aturan pendatang baru dan jual-beli rumah hanya berlaku di Dusun Karet. Takdiketahui Kelurahan Pleret. "Cuma diketahui tokoh masyarakat situ sama pokyat," jelasnya.

Slamet, terang Iswanto, diperkenankan tinggal hingga mendapat rumah kontrakan baru. "Aturannya juga mau direvisi, karena ada kata-kata yang kurang pas," bebernya.

Terpisah, Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana, mendesak Dusun Karet merevisi aturan tersebut. Regulasi kontradiksi dengan konstitusi dan Pancasila.

"Semua orang berhak untuk tinggal di mana pun. Ini (amanat) undang-undang kita," tegas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDIP) tersebut.

Dirinya menduga, terbitnya regulasi Dusun Karet tak lepas dari ketaktahuan ihwal prosedur membuat peraturan. "Mungkin mereka tidak melihat itu," pungkasnya.