Pakar hukum persoalkan urgensi Komnas HAM urus TWK KPK

Pakar hukum persoalkan urgensi Komnas HAM urus TWK KPK Mantan Pansel Capim KPK, Yenti Garnasih (kiri), Diani Sadiawati (kanan), dan Natalia Subagyo (tengah) berjalan keluar usai bertemu pimpinan KPK untuk membahas kelanjutan kasus-kasus KPK yang tertunda, Jakarta, pada Kamis (12/1/2019). Foto Antara/Yudhi Mahatma

Tujuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memanggil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) dipertanyakan. Pakar hukum Yenti Garnasih mengaku heran dengan pemanggilan tersebut.

"Saya juga tidak tahu, kenapa sih begitu? Apa sih kaitannya Komnas HAM. Harusnya, kan, berkaitan dengan apa yang dilakukan seseorang atau lembaga lain yang melanggar HAM. Nah, ini apa dong? Ketua KPK melanggar HAM-nya di mana?" ujarnya kepada wartawan, Rabu (9/6).

Terlebih, TWK merupakan produk dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). BKN pun memiliki tim dalam merumuskan pertanyaan tes. "Apa urgensinya memanggil? Apalagi Pak Firli itu kan sedang bekerja, kok, bolak-balik dipanggil?" tuturnya.

Yenti menilai, sudah tepat Firli tak memenuhi panggilan Komnas HAM. "Benarlah tidak usah datang."

"Pak Firli melanggar HAM yang mana? Mau ditanya apa ke Pak Firli? Kan, harusnya berkaitan, misal policy. Di dalam policy itu ada pelanggaran HAM. Pak Firli tidak mengeluarkan policy apa-apa," imbuhnya.

Menurut dia, kebijakan yang dikeluarkan pimpinan KPK merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kalau TWK dianggap melanggar HAM, Komnas HAM seharusnya memanggil si pembuat undang-undang. Itu pun kalau memang ada konten yang dianggap melanggar HAM. Dengan demikian, Komnas HAM tidak tepat memanggil Firli Bahuri jika mempermasalahkan UU tersebut.

"Kalau itu mau dipermasalahkan, yang dipanggil bukan Firli, yang dipanggil, ya, DPR dan pemerintah yang waktu itu membuat Undang-undang KPK. Kalau berkaitan dengan apa yang dipertanyakan di dalam tes-tes itu, itu yang dipanggil BKN," urainya.

Dia mengingatkan, BKN memiliki standardisasi dalam tes. Komnas HAM tidak bisa langsung menduga ada pelanggaran dalam TWK.

"Penguji itu, kan, punya sertifikasi, enggak boleh dong diinterupsi seperti itu. Coba Komnas HAM melihat sendiri, berkaitan dengan apa Firli dipanggil? Pelanggaran HAM apa yang dilakukan Firli?" jelasnya.

Yenti khawatir segala sesuatu dipolitisasi. Menurut dia, ruang politik ada di DPR saat undang-undang dibuat. Seharusnya nuansa politik sudah berakhir saat undang-undang diimplementasikan.

Komnas HAM selaku organisasi yang selama ini dikenal independen harus bisa melepaskan diri dari nuansa politik.

"Kalau independen, seharusnya tidak boleh sampai menimbulkan praduga mereka berpolitik. Jangan juga malah tambah gaduh. Menurut saya benar Firli tidak perlu datang, tidak jelas kok," tandasnya.