Harga Bawang Merah Hancur, Kementan: Banyak Faktor

Harga Bawang Merah Hancur, Kementan: Banyak Faktor Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) mengakui, harga bawang merah di tingkat petani tengah rendah. Faktornya bervariasi. Di setiap daerah pun berbeda-beda penyebabnya.

"Bisa karena oversupply akibat panen serentak, kualitas bawang yang rendah, industri pengolahan yang belum berkembang, serta keterbatasan akses pemasaran," ucap Dirjen Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto, di Jakarta, baru-baru ini.

Sedangkan di Kabupaten Probolinggo, dipengaruhi organisme pengganggu tanaman (OPT), Khususnya ulat grayak. "Kami akan cek dan tindaklanjuti segera," janjinya.

Dia mengungkapkan, Kementan telah melakukan beragam upaya dalam menjaga stabilitas. Terutama untuk harga di level petani dan konsumen. Seperti memfasilitasi sarana pengolahan dan memperkuat akses pasar.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura, Sukarman, menambahkan, program pengembangan kawasan bawang merah di Jawa bertujuan stabilisasi pasokan dan harga di kota-kota besar. Sedangkan pengembangan varietas tertentu berorientasi ekspor.

Adapun target budi daya di luar Jawa menyasar pemenuhan kebutuhan daerah setempat. Sehingga, memperpendek jalur distribusi. Dus, harga terjangkau dan stabil.

"Harga rendah biasanya terjadi karena musim panen raya serentak. Bisa juga akibat panen yang tidak maksimal. Karena serangan hama penyakit," tuturnya via keterangan tertulis.

"Makanya, kami ajak petani supaya bisa menerapkan sistem pengaturan tanam dan budi daya ramah lingkungan. Hulu-hilir memang harus ditata," tutup Sukarman.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bawang merah menyumbang deflasi sebesar -12,67 persen pada September 2019. Bulan sebelumnya -12,65 persen. Sementara, produksi selama 2018 naik tiga persen daripada tahun sebelumnya.

Pantauan Kementan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, harga bawang merah cenderung rendah. Sekitar Rp14 ribu-Rp20 ribu per kilogram sepanjang 2018 hingga kini.

Bahkan, menyentuh Rp6.000 per kilogram di tingkat petani pada Agustus 2019. Khususnya di sentra-sentra besar. Semacam Nganjuk, Brebes, Kabupaten Probolinggo, Bima, Demak dan Kabupaten Cirebon.