Deklarasi Sekolah Ramah Anak, Tekan Kasus Kekerasan di Kota Pekalongan

Deklarasi Sekolah Ramah Anak, Tekan Kasus Kekerasan di Kota Pekalongan Foto: pekalongankota.go.id

Kota Pekalongan, Pos Jateng – Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LP-PAR) Kota Pekalongan berupaya menekan kasus kekerasan berbasis gender dan anak di Kota Pekalongan. Upaya tersebut dilakukan melalui pengasuhan positif, deklarasi Sekolah Ramah Anak (SRA), dan edukasi lainnya.

"Kami catat kasus sejak 2006 sampai sekarang. Awal kami bantu untuk yang kasus berbasis gender atau dewasa itu cukup tinggi dibanding anak, tetapi begitu tahun 2012 kasus kekerasan anak meningkat," ujar Kepala LP-PAR Kota Pekalongan, Nur Agustina, dilansir dari pekalongankota.go.id, Senin (22/11).

Agustin menjelaskan penekanan kasus kekerasan gender dan anak dilakukan dengan program Kota Layak Anak melalui pendidikan, pelatihan serta pemanfaatan waktu luang.

Salah satu indikator terciptanya Kota Layak Anak yakni setiap sekolah harus menjadi SRA sehingga para pendidik juga memberikan perlindungan kepada peserta didiknya dengan bekal pendidikan seks, anti bulying, dan lain-lain.

"Karena kejadian kekerasan tak hanya di sekolah bisa saja di rumah atau di lingkungan masyarakat maka sosialisasi di level RT dan RW tentang pengasuhan positif juga dilakukan," pungkas Agustin.

Agustin menyebut pihaknya mengira tidak akan ada kasus kekerasan berbasis gender atau anak melihat terbatasnya interaksi di masyarakat. Namun ternyata kasusnya tetap ada bahkan laporan di beberapa daerah sebagai gambaran mikro di tingkat nasional pun sama ternyata kasusnya mencuat dengan bobot kasus yang berat.

"Kasus kekerasan pada anak yang terjadi pelakunya kebanyakan orang terdekat bahkan orang tua yang notabene memberi perlindungan," terang Agustin.

Menurut Agustin pemicu masalah kekerasan berbasis gender dan anak adalah faktor ekonomi dan sumner daya manusia (SDM).  

"Masyarakat yang miskin dan pendidikan rendah rentan dengan kasus kekerasan. Mungkin saja karena mereka tak mampu memberikan edukasi kepada putera-puterinya sehingga anak tak paham modus-modus kekerasan dan pelecehan seksual. Ditambah lagi pendidikan di sekolah yang minim," beber Agustin.