Kominfo: Terdapat 4.432 Konten Hoaks Covid-19 di Facebook

Kominfo: Terdapat 4.432 Konten Hoaks Covid-19 di Facebook Ilustrasi facebook. Foto: unsplash.com

Jakarta, Pos Jateng - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan hasil riset hoaks terkait Covid-19 di media sosial (medsos) dari rentang waktu Januari 2020 hingga November 2021.

Dari riset tersebut, Facebook menjadi medsos dengan persebaran hoaks terbanyak dengan 4.432 konten. Sementara unggahan hoaks pada Twitter sebanyak 572 konten, Youtube 55 konten, Instagram 47 konten dan Tiktok 25 konten.

"Salah satu hoaks yang tersebar adalah kantor berita Al Jazeera mencatat pada April 2020 lebih dari 700 orang di Iran meninggal dunia dan 90 lainnya kehilangan kemampuan melihat karena keracunan alkohol, karena mengira dengan meminum alkohol dapat menyembuhkan Covid-19," ujar Juru Bicara Kemenkominfo, Dedy Permadi dalam jumpa pers virtual, Kamis (18/11).

Dedy mencontohkan, terkait pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), terdapat 48 isu pada 1.167 unggahan media sosial, dengan persebaran terbanyak pada Facebook yakni 1.149 unggahan. Dari kasus tersebut, memutus akses untuk 1.003 unggahan, sementara 164 lainnya sedang ditindaklanjuti.

“Hoaks yang beredar ini menjadi lebih parah karena mengakibatkan orang Indonesia tidak percaya Covid-19 atau menganggapnya sebagai teori konspirasi belaka,” katanya.

Facebook sebagai kanal media sosial yang banjir hoaks pernah dikaji oleh akademisi Universitas New York dan Universite Grenoble Alpes Prancis. Riset yang dibuat kedua universitas tersebut menunjukkan konten disinformasi atau berita bohong di Facebook enam kali lebih banyak diakses daripada konten fakta.

Interaksi seperti likes dan share juga diketahui enam kali lebih banyak dibandingkan dengan berita-berita yang bersifat fakta.

The Washington Post memuat laporan dari penelitian kedua universitas tersebut sejak Agustus 2020-Januari 2021. Direktur di The Institute for Data, Democracy, and Politics Universitas George Washington, Rebekah Tromble, mengatakan, studi itu membuat semakin banyak bukti bahwa Facebook menjadi rumah bagi para penyebar hoaks.

"Terlepas dari berbagai upaya mitigasi informasi yang salah oleh Facebook, tapi para penyebar hoaks memang telah menemukan rumah yang nyaman untuk terlibat dengan pengguna di Facebook," kata Rebekah Tromble, dikutip dari The Washington Post September lalu.

Dia juga mengatakan, sudah waktunya bagi Facebook menjadikan studi ini sebagai bentuk pengawasan eksternal terhadap pemakainya.