Tugu Keris Jembatan Tirtonadi Dikritik

Tugu Keris Jembatan Tirtonadi Dikritik Tugu Keris di Jembatan Tirtonadi, Kota Surakarta, Jateng. (Foto: widodogroho.com)

Surakarta - Pegiat budaya, Adi Sulistyono, mengkritisi tugu keris di Jembatan Tirtonadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah (Jateng). Tiang besar dan tinggi itu dianggap tak menerapkan aturan pakem keris.

"Kalau seni kontemporer boleh bebas, tapi keris, kan, seni tradisi yang punya pakem dan diikuti masyarakat sejak dulu," ujarnya di Jebres, Surakarta, Jumat (18/1).

Dia kemudian mencontohkan dengan bagian bawah tugu. Menurutnya, keris seharusnya memiliki kontur tertentu. Pun demikian bilah, lantaran cuma tajam di satu sisi dan tak sesuai sejarahnya.

"Selain itu, (bilahnya) harus simetris kanan-kirinya. Di bagian atas ini, kan, tidak simetris. Jadi, ini keris bukan, pedang juga bukan. Tidak jelas," ketusnya.

Pandangan serupa disampaikan Ketua Paguyuban Bawa Rasa Tosan Aji Surakarta (Bratasura), Agus Atmo Wijoyo. Apalagi, tugu berdiri di kota yang menjadi pusat budaya.

"Di Solo, kan, banyak pakar keris, empu keris. Harusnya dilibatkan. Kalau tugu itu ada di negara lain, mungkin enggak masalah. Tapi ini di Solo, pusatnya keris," tegasnya.

"Sederhananya gini, kalau kita membuat patung Bung Karno, ya, pasti semirip mungkin dengan Bung Karno. Bikin patung sapi, ya, jangan seperti kerbau. Kalaupun mirip, tetap saja beda," imbuh dia mengingatkan.

Tak Keberatan
Sementara itu, Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, tak keberatan tugu keris tak mirip. Sebab, pembuatnya bukan empu.

"Yang penting, rohnya ada di situ. Kan, itu menyatu dengan kawasan Minapadi," ucapnya, terpisah.

Tugu keris merupakan bagian proyek Jembatan Tirtonadi. Jembatan dibuat ganda dengan lebar masing-masing 14,9 meter.

Di antara dua jembatan, dibangun tugu keris sebagai monumen. Tugu setinggi 25 meter ini, dibuat dari cor beton dilapisi tembaga.

Menurut Rudy, perencanaan pembangunan tugu tak melibatkan ahli keris. Soalnya, seluruh proyek dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Pemkot (pemerintah kota) saja tidak dilibatkan, kok," tandas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.