Pemkot Yogyakarta Maksimalkan Pengurangan Sampah Organik Melalui Metode Biopori

Pemkot Yogyakarta Maksimalkan Pengurangan Sampah Organik Melalui Metode Biopori Pengolahan sampah organik berupa daun dan ranting pohon menjadi pakan ternak serta budidaya maggot di Bank Sampah Kelurahan Giwangan, Kota Yogyakarta. Foto: jogjakota.go.id

Kota Yogyakarta, Pos Jateng – Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) terus memaksimalkan pengurangan sampah organik yang dibuang langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA), salah satunya dengan menggunakan metode Biopori. Kepala DLH Kota Yogyakarta, Sugeng Darmanto mengatakan, metode Biopori tersebut akan dilakukan berbasis rumah tangga yang dimulai dari nasabah bank sampah.

“Upaya pengurangan sampah bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya Biopori. Kami akan lakukan dengan memanfaatkan APBD Perubahan 2022. Basisnya rumah tangga, dimulai dari nasabah bank sampah,” paparnya Senin (26/9).

Sebagai informasi, Biopori merupakan metode pengolahan berupa lubang-lubang di tanah yang akan diisi dengan sampah organik. Sampah organik tersebut menjadi makanan bagi binatang di dalam tanah yang akan mengubahnya menjadi kompos.

Sugeng menambahkan, lubang Biopori akan ditempatkan di dekat dapur, sehingga sampah organik sisa dapur bisa langsung masuk ke lubang dan nantinya terolah menjadi kompos.

“Langkah ini diharapkan efektif. Jadi sampah organiknya tidak lagi dibuang ke TPA Piyungan yang sudah overload,” imbuhnya.

Selain menerapkan dan menggencarkan metode Biopori, DLH Kota Yogyakarta juga memanfaatkan APBD Perubahan 2022 untuk memperkuat fasilitas pengolahan sampah organik di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) Nitikan 2 untuk disetarakan dengan TPSS Nitikan 1.

Pada 2023, lanjut Sugeng, pihaknya merencanakan alokasi anggaran Rp15 juta untuk masing-masing kelurahan. Anggaran tersebut bisa digunakan untuk  melakukan berbagai metode pengolahan samaph organik, seperti komposter, losida (lodong sisa dapur), hingga budi daya maggot.

“Dana tersebut bisa digunakan untuk melakukan pengolahan sampah dengan metode yang disesuaikan kondisi di masing-masing wilayah. Karena belum tentu seluruh wilayah cocok dengan satu jenis metode pengolahan sampah organik,” lanjutnya.

Terakhir, Sugeng menjelaskan DLH Kota Yogyakarta juga berencana menerapkan kebijakan pemanfaatan ruang terbuka publik sebagai lokasi pengolahan sampah organi. Langkah tersebut diambil mengingat luas Kota Yogyakarta yang terbatas dan minim lahan.

“Jika pengurangan sampah organic bisa dilakukan, maka pembiayaan yang harus dikeluarkan Pemkot untuk pengelolaan sampah di TPA Piyungan bisa dikurangi. Selain itu, juga mengurangi bebas TPA Piyungan yang sudah overload,” pungkasnya.