Pangkal Kebocoran Ekonomi di Rezim Jokowi

Pangkal Kebocoran Ekonomi di Rezim Jokowi Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Foto: Setkab)

Jakarta - Analis ekonomi politik, Kusfiardi, menilai, pemerintah tak menjangkau aktivitas shadow economy. Juga gagal menentukan tarif dan basis pajak. Sehingga, potensi pajak menguap begitu saja. Kebocoran tak terhindarkan.

"Penerimaan pajak kita menjadi tidak optimal, karena pemerintah tidak fokus pada upaya memperkuat basis pajak," ujarnya di Jakarta, Sabtu (13/4).

Litbang Ko​​misi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, pendapatan negara semestinya Rp4.000 triliun saban tahun. Sayangnya, realitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya sekitar Rp2.000-an triliun.

Target penerimaan yang dipatok pun baru 50 persen dari potensi. Dus, pendapatan kehilangan potensi dua kali. Perhitungan dan target. Ini bukti rasio penerimaan pajak terhadap potensinya takoptimal.

Pemicu berikutnya, menurut Kusfiardi, belum teratasinya offshore tax evasion, meski memiliki instrumen automatic exchange of information (AEoI). Demikian pula dengan base erosion and profit shifting (BEPS) atau menempatkan penghasilan di negara yang memberikan fasilitas pajak rendah.

"Kebocoran lainnya, ada manipulasi data alias unreported and unpaid tax. Pelaporan pajak tidak sesuai dengan data," ucap Co Founder FINE Institute itu.

Menurut dia, tolok ukur kebocoran terlihat dari produk domestik bruto (PDB). Terus naik dari tahun ke tahun, tetapi rasio pajak fluktuatif. Kemajuan perekonomian suatu negara idealnya linier dengan rasio pajak.

Dirinya melanjutkan, PDB Indonesia tertinggi di kawasan Asean. Berada di urutan kelima level Asia. Tingkat 15 di kancah global. Sayangnya, rasio pajak rendah dibanding nilai rerata tax revenue to GDP ratio dunia: 15,06 persen.

Data tersebut merujuk Bank Dunia pada 2016. "Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia 14,4 persen Filipina 13,67 persen, Singapura 14,29 persen, dan Kamboja 15,3 persen," ungkapnya.

Karenanya, Kusfiardi mendesak pembenahan regulasi dan kebijakan guna meningkatkan kepatuhan pajak. Sehingga, rasio dan kepatuhan pajak meningkat.

"Biaya kepatuhan (compliance cost) juga harus diperhatikan. Dengan semakin rendah biaya yang ditanggung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, semakin tinggi kepatuhan pajak," terangnya.

Dirinya turut mendorong penguatan otoritas pajak. Melepas lembaga perpajakan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menjadi lembaga otonom. Sehingga, langsung bertanggung jawab kepada presiden. Pemisahan disertai kewenangan yang memperkuat otoritas pajak.

"Sepanjang pemerintahan Jokowi, tak pernah merealisasikan dengan sungguh-sungguh agenda kebijakan untuk mengatasi kebocoran pendapatan negara yang disebut oleh KPK," tutup dia.