Kembali menolak, Rizieq Shihab bisa diharikan secara paksa

Kembali menolak, Rizieq Shihab bisa diharikan secara paksa Pentolan FPI, Rizieq Shihab (baju tahanan), saat berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020). Foto Antara/Hafidz Mubarak A.

Majelis hakim dinilai dapat memerintahkan jasa penuntut umum (JPU) menghadirkan terdakwa pendiri Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, secara paksa apabila bersikukuh menolak mengikuti peradilan secara virtual. Sidang berikutnya dijadwalkan berlangsung Selasa (23/3).

"Walaupun seandainya besok, terdakwa masih menolak disidangkan secara virtual dan terus bersikukuh tidak mau hadir dalam sidang pengadilan secara virtual, tetapi majelis hakim punya kewenangan untuk memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa dengan upaya paksa dengan bantuan pihak kepolisian," ujar Anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta, Senin (22/3).

Habib Rizieq kini berstatus sebagai terdakwa kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung serta tentang tes usap (swab test) di RS UMMI Bogor. Sidang perkara dilakukan di Pengadilan Neger Jakarta Timur (PN Jaktim).

Dalam sidang sebelumnya, 9 Maret 2021, dia menolak mengikutinya karena dilaksanakan secara daring. Dalihnya, dirinya dilindungi undang-undang (UU) dan peraturan Mahkamah Agung (perma) terkait dianggap melanggar ketentuan di atasnya.

Sudirta melanjutkan, terdakwa pun berhak diam ataupun tidak menjawab sama sekali apabila enggan merespons pertanyaan yang diajukan. Namun, semua pihak di persidangan wajib mengikuti penetapan majelis hakim.

"Tidak terkecuali bagi terdakwa sendiri, harus menjalankan apa yang diperintahkan majelis hakim," tegas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.

Menurutnya, sidang secara virtual lazim dilakukan saat pandemi Covid-19. Prosedur tersebut juga diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2020 dan Perma Nomor 5 Tahun 2020.

"Jika masih ada pihak-pihak yang mencoba meragukan keabsahan dan daya laku Perma Mahkamah Agung Nomor 4 dan Nomor 5 tersebut, saya mempersilakan membaca dan mempelajari secara mendalam isi dan jiwa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 7 dan Pasal 8," tuturnya.

Dengan memahami Perma Nomor 4 dan Nomor 5 sebagai lex spesialis atas KUHAP sebagai lex generalis, menurutnya, maka Perma tersebut memiliki eksistensi dan daya laku yang kuat. "Karena tidak bertentangan dan tidak bisa dipertentangkan dengan ketentuan ketentuan yang ada dalam KUHAP."

Di sisi lain, Komisi Yudisial (KY) masih memantau persidangan itu. "Selanjutnya akan mengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangan," kata Komisioner Komisi Yudisial (KY), Joko Sasmito.