Sejak Reformasi, Pilpres 2019 Dianggap Terburuk

Sejak Reformasi, Pilpres 2019 Dianggap Terburuk Polisi bersenjata laras panjang berjaga di lokasi rekapitulasi suara Pemiu 2019 di Kantor Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya, Jatim, Sabtu (20/4). (Foto: Antara Foto/Didik Suhartono)

Jakarta - Aliansi Penggerak Demokrasi Indonesia (APDI) berpandangan, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 merupakan "kontestasi kotak suara" terburuk. Bukan sekadar keculasan perhitungan suara semata. Juga terjadi penggelembungan perolehan suara.

Selain itu, tambah Ketua APDI Wa Ode Nur Intan, banyak ditemukan petugas tempat pemungutan suara (TPS) mencoblos kandidat tertentu berkali-kali. Ada pula yang tak melakukan penjumlahan. Malah mengosongkan kolomnya. Turut terjadi pencurian C-6 atau dokumen rekapitulasi perolehan suara.

"Orang-orang kami sudah berusaha melaporkan berbagai indikasi kecurangan dan pelanggaran ini. Namun, Laporan tersebut tidak pernah ada follow up dari aparat terkait. Baik kepolisian maupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)," ujarnya di kantor APDI, Jakarta, Senin (22/4).

"Sehingga kami menilai, ada kecurangan yang terencana dan terstruktur. Karena itu, kami menilai, pilpres maupun pemilu kali ini adalah pemilu paling buruk sejak reformasi 1998," imbuh dia.

Karenanya, Penasihat APDI, Mayjen (Purn)  Suprapto, meminta Polri profesional dan netral dalam mengawal pelaksanaan "demokrasi prosedural" 2019. Harus menjaga transparansi penghitungan suara. Mempersilakan saksi kontestan, pengamat, dan pemantau menyaksikan proses rekapitulasi ditempat pemungutan suara (TPS).

Dirinya mengingatkan, muncul persepsi negatif di publik ihwal pelaksanaan pemilu 2019. Banyak oknum aparatur sipil negara (ASN) berkaitan dengan pemilu diminta memenangkan salah satu kontestan. Sehingga, "kontestasi kotak suara" dipenuhi  kecurangan.

"Karena itu, harusnya pihak Polri menciptakan iklim yang kondusif dengan menciptakan transparansi. Bukan justru memperkuat asumsi masyarakat, bahwa Pemilu kali ini dipenuhi kecurangan," ucapnya.

Suprapto menerangkan, argumennya merujuk laporan publik dari berbagai daerah kepada APDI. Banyak saksi dan pemantau diadang-adangi kepolisian saat bakal menyaksikan rekapitulasi di kecamatan. Mengganggu proses penghitungan, dalihnya.

Polri, menurut dia, sepantasnya memperkenankan saksi kandidat dan pengamat terakreditasi menyaksikan tahapan pemilu tersebut. Bila tertutup, memperkuat asumsi publik terkait kecurangan. Bahkan, dilingungi aparat keamanan negara.

"Kalau para saksi melakukan tindakan kriminal, berupa perusakan atau keributan, bolehlah diamankan dan dibawa ke meja hijau atau pengadilan. Namun, selagi semuanya berlangsung damai-damai saja, apalagi niat para saksi baik, mencegah kecurangan, polisi harus mendukung. Dengan cara membiarkan mereka masuk dan menyaksikan proses penghitungan suara," urai eks-Pangdam VII/Wirabuana itu.

Suprapto kembali mengingatkan, Polri merupakan alat negara. Bertugas menjaga keamanan, ketertiban, dan kedamaian  masyarakat. Bukan alat penguasa. Tak boleh berpihak kepada kontestan tertentu.

"Saya sebagai mantan perwira tinggi TNI mengingatkan kawan-kawan Polri, Anda itu dibiayai oleh rakyat. Dibiayai oleh negara. Yang membiayai negara itu adalah rakyat. Bukan penguasa. Bukan salah satu calon presiden yang sekarang ikut berkompetisi," tegasnya.

"Harusnya Anda justru menangkap siapa saja yang berlaku tidak jujur dan menghalangi transparansi dalam penghitungan suara. Justru Anda yang harusnya menangkap dan memproses hukum setiap pelaku kecurangan. Termasuk oknum petugas dari kalangan Anda sendiri atau aparat KPU dan aparat sipil negara yang tidak jujur," tutup pensiunan jenderal bintang dua ini.