Refleksi Hakordia: Korupsi menjangkit, negara korban terhimpit

Refleksi Hakordia: Korupsi menjangkit, negara korban terhimpit Dirjen AHU Kemenkumham, Cahyo R. Muzhar (kanan). Dokumentasi Kemenkumham

Indonesia menggelar acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada Rabu (16/12). Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dari hulu sampai ke hilir.

"Pemberantasan korupsi tidak boleh padam,” ujarnya dalam sambutan saat Peringatan Hakordia, secara virtual, dari Istana Negara.

Hakordia diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Desember. Peringatan dilakukan semenjak berlakunya Konvensi Antikorupsi PBB pada 31 Oktober 2003 seiring meningkatnya kesadaran akan bahaya korupsi.

Tindakan korupsi menjadi fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang menimbulkan kerugian di berbagai sektor. PBB mencatat, korupsi merupakan kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi di semua lapisan masyarakat. 

Kerugian yang ditimbulkan akibat kejahatan korupsi tidak bisa dibilang kecil. Menilik catatan PBB, sekitar US$2,6 triliun atau setara 5% pendapatan domestik bruto (PDB) global lenyap setiap tahunnya akibat korupsi. Angka itu meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan laporan Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan Transparency International (TI), penyuapan menjadi salah satu bentuk korupsi yang tersering terjadi dan sangat merugikan. Di Afrika, lebih dari US$50 miliar hilang setiap tahunnya, sebagian besar disebabkan penyuapan. 

Suap nyatanya tidak sebatas dilakukan elite pemerintah dan masyarakat setempat. Tindak suap juga dilakukan secara lintas negara. Dari laporan yang sama menyebutkan, korporasi dan kontraktor asing menyuap pejabat di Afrika. 

Kasus di Nigeria, para pejabat disuap kontraktor asing asal Inggris dan Italia US$1,1 miliar agar bersedia melepas akses ke ladang minyak yang disinyalir bernilai US$500 miliar. Perusahaan ban Amerika, Goodyear, juga menyuap pejabat Kenya dan Angola sekitar US$3,2 juta untuk memenangkan kontrak. 

DPA
Kasus serupa juga terjadi saat perusahaan raksasa Airbus terbukti menyuap pejabat di sejumlah negara sekaligus menjadi salah satu skandal terbesar belakangan ini. Peristiwa tersebut melibatkan maskapai penerbangan di banyak negara, di antaranya Indonesia, Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan.

Airbus mengakui perbuatan suap tersebut dan diwajibkan membayar penalti sejumlah €991 juta kepada Serious Fraud Office (SFO) Inggris melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA).

DPA merupakan konsep perjanjian penangguhan penuntutan dalam perkara pidana. Mekanisme ini lazim digunakan di sejumlah negara penganut sistem hukum common law, seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Tujuannya, memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan korporasi tertentu melalui penalti keuangan yang cukup signifikan. Ini menjadi salah satu pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana di sektor bisnis dengan pendekatan analisis ekonomi. Namun, sejumlah kesepakatan DPA ini seringkali belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan sebagaimana halnya DPA Airbus dengan SFO Inggris yang belum memperhitungkan peran negara-negara korban yang membantu penyidikan SFO hingga berhasil menguak skandal ini.

Menurut penulis buku Deferred Prosecution Agreement Dalam Kejahataan Bisnis, Asep Nana Mulyana, pengertian sederhana dari DPA adalah kewenangan yang ada pada jaksa untuk melakukan penuntutan, tetap sepakat untuk tidak melakukan penuntutan dengan berbagai syarat dan kriteria tertentu. 

Di Inggris, DPA mulai berlaku 24 Februari 2014 dan diperkenalkan melalui Section 45 dan Schedule 17 dari Crime and Courts Act 2013 (CCA 2013). Pada saat itu, DPA diperkenalkan dengan tujuan "to provide prosecutors with an extra tool to tackle economic crime in England and Wales which currently too often goes without redress.”

DPA sebelumnya juga sudah diterapkan pada beberapa kasus di Inggris, yaitu Tesco PLC pada 2014, Standard Bank (ICBC Standard Bank PLC) pada 2015, Perusahaan XYZ Limited pada 11 Juli 2016, dan Rolls-Royce PLC pada 17 Januari 2017. Namun, baru ditemukan satu kasus yang mempertimbangkan hak negara korban atas kompensasi sejauh ini, yaitu skandal suap di Tanzania yang dilakukan Standard Bank Afrika Selatan, perusahaan berbasis di London.

Dalam kasus tersebut, Tanzania sebagai korban mendapatkan kompensasi atas proses investigasi SFO Inggris melalui proses DPA. Total denda yang dibayarkan sebesar US$6 juta kepada pemerintah Tanzania, ditambah bunga lebih dari US$1 juta, dan £330.000 untuk biaya ke SFO. 

Sementara itu, kasus lainnya belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban, seperti kasus suap Rolls-Royce yang menghasilkan perjanjian penangguhan penuntutan (DPA) pada awal 2017. Kasus tersebut terjadi di perusahaan maskapai di Indonesia, Thailand, India, Rusia, Nigeria, China, dan Malaysia.

Rolls-Royce pun sudah membayar denda sebesar £671 juta atas perilaku korupsi yang mencakup tiga dekade, tujuh yurisdiksi, dan tiga bisnis kepada SFO.

Demikian juga dengan kasus pemalsuan laba Tesco Stores Ltd yang diselidiki SFO, 2014 lalu. Dalam kasus itu, Tesco setuju membayar denda £129 juta dan biaya investigasi £3 juta.

Kemudian, penyelesaian dengan DPA pada kasus korupsi dan pelanggaran suap karyawan XYZ Ltd yang diselesaikan dengan membayar perintah keuangan sebesar £6,553,085, terdiri dari pencairan laba kotor £6,201,085 dan hukuman finansial £352,000. 

Dari kasus tersebut, pemberian kompensasi kepada negara korban dalam mekanisme DPA masih dikesampingkan. Padahal, dalam DPA Code of Practice pada bagian Terms, diidentifikasi langkah-langkah untuk mengembalikan ganti rugi bagi korban sangat dikedepankan oleh SFO, seperti pembayaran kompensasi.

Pembayaran kompensasi korban dalam kasus korupsi atau suap terdapat dalam pasal-pasal pada DPA, di mana perseroan (pelaku) memiliki kewajiban membayar kompensasi kepada negara korban, mengembalikan setiap keuntungan dari tindak pidana korupsi, membayar biaya perkara termasuk jaksa, dan perusahaan harus ikut ambil bagian dalam proses investigasi. 

Jika menelisik United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Konvensi juga mewajibkan negara pihak memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk penyuapan. UNCAC adalah Konvensi PBB Antikorupsi yang merupakan instrumen antikorupsi internasional pertama yang mengikat secara hukum. 

Sementara itu, dalam kasus penyuapan Airbus yang diselesaikan dengan mekanisme DPA, sejumlah negara korban mempertanyakan kompensasi tersebut. Salah satunya, TI Sri Lanka yang mempertanyakan kelanjutan investigasi kepada SFO Inggris karena tidak memasukkan kompensasi kepada negara-negara korban lainnya sebagai bagian dari persyaratan DPA yang dibuat dengan Airbus.

Dalam surat yang telah dikirimkan TI Sri Lanka, mengutip newsfirst.lk, Sri Lanka meminta kompensasi untuk negara korban penyuapan di luar Inggris. Surat itu menyebut, korupsi menimbulkan kerugian ekonomi yang serius bagi negara korban.

Airbus terungkap telah menyuap direktur dan karyawan maskapai SriLankan Airlines (SriLankan) sebesar US$16,84 juta melalui perusahaan milik istri mantan CEO SriLankan Kapila Chandrasena, Priyanka Niyomali Wijenayaka, di Brunei.

Direktur Jenderal Adminstrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Cahyo R. Muzhar, dalam Peringatan Harkodia 2020 mengatakan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa, tidak bermoral, dan mencederai kepercayaan masyarakat. 

“Hari Antikorupsi Internasional merupakan momentum baik untuk meningkatkan kesadaran seluruh pihak mengenai pentingnya komitmen dan upaya bersama untuk mencegah dan memberantas korupsi baik di tingkat nasional maupun internasional,” tuturnya di Jakarta.

Cahyo menilai, hak negara korban dalam kasus suap terhadap pejabat asing (bribery of foreign officials) harus dipenuhi. Kasus penyuapan pejabat asing sering terjadi dan memengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pengadaan barang/jasa sehingga hasil keputusan menjadi tidak objektif dan merugikan negara. 

"Kasus skandal suap tersebut juga sangat merugikan Indonesia dan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Skandal suap tersebut telah mendorong pengambilan keputusan yang tidak tepat dan merugikan dalam proses pengadaan pesawat," kata Cahyo.