Protes Yogya dan Arah Bola Salju Gerakan Mahasiswa

Protes Yogya dan Arah Bola Salju Gerakan Mahasiswa Ilustrasi aksi unjuk rasa mahasiswa. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Aksi unjuk rasa mahasiswa meletup di sejumlah titik di Yogyakarta, Kamis (23/11) lalu. Selain di kawasan Tugu Yogyakarta, aksi unjuk rasa juga digelar di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya. Khusus di ISI, mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar mimbar demokrasi bertajuk 'Mahasiswa Bersama Rakyat Tolak Politik Dinasti dan Pelanggar HAM'. 

Sebagian mahasiswa terlihat menutupi wajah mereka dengan topeng kertas bergambar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang disilang merah. Pemakaian topeng-topeng itu dimaksudkan untuk mengkritik skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PPU-XXI/2023.

Putusan nomor 90 diketok Ketua MK Anwar Usman, Oktober lalu. Isi putusan merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu. MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres asalkan pernah dipilih jadi kepala daerah. 

Berkat putusan itu, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres. Saat putusan itu dirilis, Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran. Kini, Gibran resmi jadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024. 

Dilaporkan, ribuan mahasiswa dari 35 kampus di Yogya turun ke jalan dalam aksi protes tersebut. Di kawasan Tugu Yogyakarta, sebagian mahasiswa terlihat menggelar aksi unjuk rasa dengan mengenakan topeng Guy Fawkes yang dipopulerkan kelompok peretas global, Anonymus. 

Koordinator kelompok mahasiswa dalam aksi di Tugu Yogyakarta, Ahmad Kholil menyebut penggunaan topeng Guy Fawkes merupakan simbolisasi perlawanan terhadap elite-elite politik dan pejabat publik yang antidemokrasi. 

"Topeng ini menunjukkan para elite politik yang selama ini berpura-pura di balik topeng demokrasi, tapi melanggar etika dan antidemokrasi," kata Kholil seperti dikutip dari Harian Jogja. 

Selain putusan MK, Kholil memaparkan sejumlah dosa elite politik yang perlahan-lahan membunuh demokrasi, mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). 

"Pemerintah tidak pernah merespons aksi mahasiswa dan masyarakat. Omnibus law (UU Ciptaker) bagi kami melanggar konstitusi. Pelemahan KPK melanggar konstitusi dan putusan MK terkait batas usia itu juga melanggar konstitusi," ujar mahasiswa Universitas Gadjah Mada itu. 

Yogya kerap jadi episentrum gelombang protes mahasiswa. Pada September 2019, aksi unjuk rasa besar-besaran kelompok mahasiswa menolak pengesahan Rancangan Kitab Utama Hukum Pidana (RKUHP) juga diinisiasi di Yogya. Ketika itu, kelompok mahasiswa Yogya mempopulerkan aksi lewat tajuk Gejayan Memanggil. 

Kaum Muda Gelisah

Analis politik dari Universitas Krisnadwipayana, Ade Reza Hariyadi menilai aksi protes di Yogya menunjukkan bahwa kelompok mahasiswa mulai gerah dengan manuver-manuver politik penguasa yang terus-menerus menerabas batasan-batasan konstitusi. 

"Ini menjadi kegelisahan anak-anak muda terdidik dan juga sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku para elite yang memperebutkan kekuasaan ini keluar dari pakem-pakem yang ditentukan dalam konstitusi," kata Ade di Jakarta, belum lama ini. 

Ade mengapresiasi sikap kritis kelompok mahasiswa di Yogya. Namun, ia pesimistis gelombang protes bakal membesar. Pasalnya, isu politik dinasti Jokowi dan skandal putusan MK merupakan konsumsi elite yang tidak terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. 

"Isunya tidak cukup kuat mengakselerasi gerakan politik yang lebih besar, kecuali masalah ini berkelindan dengan masalah dengan masyarakat," ucap Ade. 

Untuk menjaga napas gerakan, Ade menyarankan agar kelompok mahasiswa berkolaborasi dengan kaum buruh. Saat ini, serikat-serikat buruh sedang resah dengan aturan kenaikan upah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. 

PP itu dianggap tak mengakomodasi kepentingan kaum buruh. Pasalnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dimandatkan PP itu jauh dari ekspektasi kaum buruh, yakni kisaran 5-8%. Serikat buruh sebelumnya ingin agar upah buruh naik sekitar 15%. 

"Sejauh ini, gerakan ini masih sangat parsial... Kalau (keresahan kaum buruh) ini bisa direspons dan diakselerasi kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai wilayah, maka ini bisa jadi salah satu faktor akselerasi gerakan yang lebih besar," ucap Ade.

Mantan aktivis era 98, Patra M Zen turut mengapresiasi aksi unjuk rasa kelompok mahasiswa di Yogyakarta. Semula, Patra menyangka generasi mahasiswa saat ini bakal apatis menyikapi dinamika politik nasional yang terjadi. 

"Tiga puluh lima kampus yang memprotes menolak politik dinasti dan pelanggar HAM. Ini persis apa yang dikatakan Tan Malaka, 'Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda'," ujar Patra.

Menurut Patra aksi mahasiswa bakal membesar bila pemerintah menyikapi dengan sikap yang represif dan intimidatif. Dia berkata penangkapan dan upaya pembungkaman kalangan kritis bakal memicu gelombang aksi yang lebih besar.  

"Jika jalan demokrasi ini ditarik semakin mundur ke belakang, akan membesar seperti tahun 1990-an. Jika terjadi represi, penangkapan atau pembungkaman oleh pemerintah terhadap mahasiswa yang melakukan unjuk rasa, bisa saja gerakan mahasiswa ini semakin membesar," jelas Patra.