Minyak Goreng Masih Langka, Komisi VI DPR Soroti Rantai Pasok

Minyak Goreng Masih Langka, Komisi VI DPR Soroti Rantai Pasok Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Foto: dpr.go.id

Nasional, Pos Jateng - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyoroti kelangkaan minyak goreng yang belum selesai hingga saat ini. Menurutnya, kelangkaan minyak goreng masih terus berlanjut di berbagai daerah dan bahkan di Ibu Kota Negara.

Harga di pasaran juga masih jauh dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sehingga berdampak pada industri makanan siap saji dan sejumlah lini bisnis lainnya.

"Saya justru melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (8/3).

Deddy menjelaskan, rantai pasok dimulai dari pekebun sawit, produsen Crude Palm Oil (CPO), pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang sudah tidak saling berhubungan.

"Semua pihak dirugikan. Jadi tidak hanya rakyat yang kesulitan mendapatkan barang, tetapi harganya pun sangat mahal. Sebab produsen CPO juga mengeluh," ujarnya.

Ia mengakui mendapatkan laporan produsen CPO yang mengeluh karena tidak ada jaminan mereka bisa melakukan ekspor. Padahal, mereka mengaku sudah memenuhi persyaratan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng.

"Di sisi produsen minyak goreng, mayoritas merasa masih kesulitan mendapatkan bahan baku," ucapnya.

Deddy sendiri merasa bingung, sebab kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri hanya sekitar 10% dari total produksi CPO nasional yang mencapai di atas 49 juta ton per tahun. Padahal, butuh sedikit di atas 5 juta ton per tahun untuk minyak goreng, tetapi pasokan minyak tetap tidak bisa terpenuhi.

Bahkan, bila ditambahkan dengan kebutuhan CPO untuk program B30 yang mencapai sekitar 9 juta ton, produksi Indonesia masih sangat aman. Jika pun pengusaha dan eksportir CPO dikenakan kewajiban DMO 30%, mereka tetap akan untung karena harga internasional masih sangat tinggi mencapai Rp15.000/kg

Oleh karena itu, dirinya berharap agar Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM segera duduk bersama dengan para pemangku kepentingan terkait dan para pelaku industri.

"Kemendag tidak boleh bermain aman. Terkuncinya ekspor CPO itu tidak hanya merugikan pengusaha sawit, tetapi juga merugikan penerimaan negara. Ketiadaan minyak goreng juga merugikan pedagang dan pelaku ekonomi, baik yang besar, menengah maupun yang kecil," pungkas Deddy.