Jurdil Lebih Utama daripada Menang-Kalah Pemilu

Jurdil Lebih Utama daripada Menang-Kalah Pemilu Prosesi pemungutan suara di KBRI Stockholm, Swedia, Sabtu (13/4). (Foto: Antara Foto/Handout)

Jakarta - Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas), Ismail Rumadan, menilai, pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 tak berlangsung jujur dan adil (jurdil). Azas dasar pelaksanaan "demokrasi prosedural".

"Nampak dari pemilu kemarin, banyak masalah, kesalahan, kecurangan. Menurut saya, masih jauh dari kata jurdil pemilu kali ini," ujanya di Jakarta, Minggu (21/4).

​Hal tersebut, tecermin dari rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah. Sebanyak 103 tempat pemungutan suara (TPS) di Sumatera Barat, 20 TPS di Jawa Tengah, 112 TPS di Riau, misalnya. Juga di luar negeri.

Sementara, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, pun mencatat terjadi keculasan. Menerima 1.261 laporan kecurangan.

Ismail menerangkan, jurdil mesti menjadi landasan para penyelenggara pemilu. Sehingga, suara seluruh kontestan dan pemilih terjamin.

Dia menambahkan, pelaksana pemilu memiliki tanggung jawab moral dan hukum. Sehingga, tak sekadar memohon maaf atas kesalahan yang terjadi.

"Sekecil apa pun, sengaja atau tidak disengaja, harus diselesaikan secara hukum. Tidak cukup hanya dengan permohonan maaf saja," ucapnya.

Dirinya melanjutkan, pemilu bukan perkara menang-kalah. Rakyatlah pemenang sesungguhnya dalam "kontestasi kotak suara". Namun, perlu pertanggungjawaban hukum guna menjaga nama baik demokrasi.

"Ini menyangkut muruah demokrasi kita. Bagaimana mewujudkan pemilu yang jurdil,” tutup Ismail.