Cegah kelompok radikal, milenial harus kritis

Cegah kelompok radikal, milenial harus kritis Ilustrasi. Pexels

Generasi milenial disarankan lebih kritis menyikapi setiap isu. Dengan demikian, diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal.

"Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," ucapnya psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum, Selasa (30/3).

Menurutnya, kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, dan menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber tentang hal-hal yang ada di sekitar.

Berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan menjadi salah satu cara menghindari kelompok radikal. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, hingga gaya hidup.

"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," jelasnya.

Nirmala berpendapat, sebenarnya tidak bisa di generalisasi bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Baginya, aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa hari lalu, lebih terkait keimanan. 

"Bukan agama, ya, sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," paparnya.

Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menilai, kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Sangat minim milenial yang memiliki karakter kuat sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara. 

"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik, seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," ucapnya.

Karenanya, Nuning, sapaannya, meminta milenial kritis jika menyangkut pilihan hidupnya. "Bila salah ajaran, maka kritis itu muncul justru sebagai antiideologi negara."
 
Dirinya pun mendorong penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, serta mendapatkan dukungan dana dan politik.

"Hati-hati, saat ini proses enabling environtment marak sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.

Nuning menilai, ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan, meskipun rekrutmen kerap dilakukan tertutup. Ruang-ruang publik itu seperti sekolah, kampus, dan media sosial. 

"Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," tandasnya.